MEDAN – Anggota Komisi B DPRD Sumut, Ebenejer Sitorus SE mengatakan, RDP Komisi B DPRD Sumut kemarin bertujuan melindungi para petani sawit mandiri yang teraniaya menghadapi rendahnya harga sawit.
Menurut dia, ketika petani sawit mengikuti pola kemitraan, maka harganya berdasar penetapan PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN). Sedangkan petani sawit mandiri hanya ditentukan oleh pengelola PKS.
Perlu diketahui, KPBN adalah anak perusahaan dari holding Perkebunan Nusantara yang diberikan kepercayaan sebagai agen jual beli CPO, karet, gula, penjualan/pemasaran komoditas perkebunan nasional kelapa sawit (CPO, PKO dan PKM), karet, tetes serta teh. KPBN juga memiliki core business penyewaan tangki timbun jasa logistik hingga perkiraan harga CPO.
Eben mengakui, harga resmi petani sawit pola kemitraan dikeluarkan oleh KPBN sesuai penetapan Dinas Pertanian. Biasanya tinggi. Tapi petani sawit mandiri di seluruh Sumut justru teraniaya akibat harga rendah pihak PKS.
Sementara hanya ada 8 PKS melakukan pola kemitraan di Sumut. Diantaranya PTPN 3 dan PTPN 4. Sedangkan swasta sedikit mengelola pola kemitraan. Padahal terdapat ratusan PKS beroperasi di Sumut.
“Kita minta Gubsu mengatur sesuai kewenangan. Apalagi dalam UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan ada kewenangan diskresi menerbitkan Pergub. Kita harap Pergub dapat memonitor harga sawit milik petani mandiri,” tegasnya.
BACA JUGA: Jumlah Penderita Stunting di Sumut Mencapai 347.437 Balita
Saat menghadiri RDP, legislator asal Dapil Sumut 5 Kabupaten Asahan, Kota Tanjungbalai dan Kabupaten Batubara itu menuntut setiap manajemen PKS menetapkan harga sawit per TBS/Kg didasari penilaian rendemen. Eben menjelaskan, rendemen kelapa sawit merupakan dasar perbandingan jumlah antara minyak kelapa sawit kasar atau CPO yang diproduksi pada setiap Kg TBS.
BACA JUGA: Pemkab Garut Siapkan Anggaran Rp5,9 Miliar Untuk Atasi Stunting
Dia menyebut, dalam 1 Kg buah kelapa sawit perlu diketahui seberapa besar rendemennya. Terdapat rumus digunakan untuk menghitung rendemen kelapa sawit oleh suatu PKS. Eben mencontohkan, di PTPN 4 Kebun Mandoge mampu mematok harga sawit Rp. 1.800-an per Kg/TBS dengan rendemen sekira 17,50 persen. Namun jika melihat tabel KPBN, harga TBS/Kg memakai rendemen sama 17,50 persen cuma dibandrol Rp. 1.600 lebih.
Makanya, timpal Eben lagi, Komisi B DPRDSU berkepentingan menyarankan Gubsu dan Kdh selaku pemilik diskresi agar segera menertibkan kesenjangan harga sebagai bentuk pengawasan. Tujuannya mengatur PKS penerima sawit petani mandiri supaya benar-benar membuat harga sesuai ukuran rendemen.
“Kita dorong pemerintah membantu rakyat khususnya petani sawit mandiri yang teraniaya. Manajemen PKS pakai hati dong, jangan sewenang-wenang,” imbaunya.
Eben pun mengingatkan pengelola PKS membuat harga jangan jauh sekali (rendah). Dia beralasan, apapun situasi di lapangan sekarang, pihak PKS telah memperoleh keuntungan cukup besar.
“Limbahnya aja jadi duit. Mulai dari janjang, cangkang bahkan mikonya. Apa mereka hitung keuntungan selama ini ? Kan jadi sumber penambah harga sawit. Sementara KPBN hanya dari CPO dan Carnel,” terangnya, sembari meminta pengelola PKS jangan ‘bermain”.
Bagi politisi Partai Hanura tersebut, Pemprovsu dan Pemkab di Sumut wajib peka mendengar jeritan petani sawit mandiri. Sebab tatkala pungutan ekspor di-nolkan, seyogianya pihak PKS menetapkan harga sawit rata-rata Rp. 1.700 lebih/Kg TBS pada tingkat petani. Tapi Eben menyatakan prihatin mengetahui kondisi lapangan. Ternyata harga sawit masih di bawah Rp. 1.600/Kg TBS. (ind/ril).