GARUT – Ketua Gabungan Wartawan Nekat (GAWAT), Heru, melakukan investigasi bahwa banyak sekolah setingkat SMA di Kabupaten Garut yang menahan ijazah siswanya yang sudah lulus.
Heru mengaku prihatin dengan kondisi tersebut dan Ia pun melalui GAWAT akan membawa persoalan ini ke tingkat Provinsi. Berharap ada tindakan tegas dari Pemerintah Provinsi dan DPRD Provinsi.
Heru menyebut bahwa dari hasil investigasi GAWAT, diperkirakan ada ribuan ijazah siswa yang ditahan di sekolah di seluruh Kabupaten Garut.
Bahkan yang mirisnya ada ijazah yang disimpan di sekolah selama 20 tahun. Heru sangat terkejut dengan temuan tersebut.
Parahnya kata Heru, yang menjadi alasan menahan ijazah ini salah satunya karena hutang uang DSP (Dana Sumbangan Pendidikan).
Heru menyesalkan kenapa gara-gara hutang DSP yang sifatnya tidak wajib menjadi dampak terhadap masa depan anak bangsa.
“ Ya saya sangat prihatin saja karena itu menyangkut masalah masa depan anak bangsa. Karena ijazah itu kan dokumen negara itu hak siswa ketika dia sudah menyelesaikan pendidikan,” ujarnya.
“ Ijazah itu kan sangat penting ya salah satunya ya untuk melamar pekerjaan dan melanjutkan sekolah. Jika ijazahnya tertahan otomatis masa depan anak tersebut akan terhambat,” tambahnya.
“ Penyebab umumnya kebanyakan karena tersangkut hutan dana sumbangan pendidikan. Tapia da juga sekolah ayng mengatakan ada siswa yang belum sidik jari,” katanya.
Lebih lanjut Heru menjelaskan soal DSP. Di dalam Permendikbud Nomor 75 tahun 2016, memang ada poin yang memberikan ruang bagi Komite untuk melakukan penggalangan dana berupa bantuan atau sumbangan.
Karena di dalam Permendikbud itu dikatakan bahwa untuk mengembangkan pendidikan bukan hanya tugas Pemerintah, namun juga tugas masyarakat.
Sehingga masyarakat bisa berpartisipasi dalam mengembangkan pendidikan dengan memberikan sumbangan dana.
Namun yang jadi masalah dan harus dipahami, bahwa sifat sumbangan ini berbeda dengan pungutan.
Sumbangan atau bantuan itu sifatnya sukarela dan tidak mengikat. Sumbangan itu menurut Heru harus disesuaikan dengan kemampuan dan tidak membebani.
“ Sifatnya jangan sampai membebankan terutama orang tua siswa. Di sana kan ada mekanisme kemudian ada semacam rujukan bahwa bantuan itu seperti apa. Sumbangan itu kan bersifat sukareala dalam artian sesuai dengan kemampuan,” jelasnya.
Namun yang terjadi hari ini kata Heru, bukanlah sumbangan melainkan pungutan liar.
Karena DSP di banyak sekolah hari ini nominalnya ditentukan dan sifatnya mengikat atau wajib. Kemudian waktunya juga ditentukan.
“Ketika sudah ditentukan nominal dan mengikat dan waktunya ditentukan itu sudah masuk pungutan,” jelas Heru.(gilang)