Site icon Bircunews

Konsesi Fatwa Haiah Kibaril Ulama Saudi Arabia dalam Mentaklidkan Tidak Sahnya Ibadah Haji

Dr. Hendripal Panjaitan.S.Pd.MA.M.Si

(Studi Kasus Aturan Undang-undang nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaran Ibadah Haji dan Umroh)

oleh: Dr. Hendripal Panjaitan.S.Pd.MA.M.Si (DOSEN UIN-SU,INSAN BINJAI, UNIVA,UISU, STAI AL-HIKMAH MEDAN DAN PTKI MEDAN)

A. Regulasi Inherensi Haiah Kibaril Ulama Saudi Arabia

Ibadah haji merupakan puncak dari ketaatan hamba kepada Allah swt. tentunya ketaatan tersebut tidak lepas dari ibadah mu’amalah antar manusia itu sendiri. Haji yang dilaksanakan oleh umat Islam yang datang dari saentero dunia mengandung ‘ibrah yang luhur guna mempersatukan dan mempersaudarakan umat Islam, tanpa mengkomparasikan (memparsialkan) warna kulit, latar belakang, suku, kebangsaan, status sosial, bahasa dan kebudayaan adat lainya.

Hikmah haji tentunya sangat diharapkan manusia di seluruh dunia dengan ingin mendapatkan delapan (8) hikmah, yakni menyempurnakan keislaman, menghapus dosa, melipatgandakan pahala, meningkatkan iman dan takwa kepada Allah set, memperoleh maghfirah (ampunan) dan bersihnya dari dosa dan noda, terkabulnya doa yang dipanjatkan,memperoleh kesuksesan hidup dan balasan surga, serta mempersatukan dan mempersaudarakan umat Islam.

Sejalan dengan hikmah yang dikandung di atas, tentunya manusia yang beribadah haji (kajian dari internal) tidak bisa lepas dari aturan yang berlaku dimana penetapan fatwa ulama Saudi Arabia adalah mengikat.

Meneropong adanya aturan yang berlaku demikian sejalan dengan aturan yang diterapkan pemerintah Indonesia (dalam hal ini Kementerian Agama RI) dalam undangundang nomor 8 tahun 2019 tentang ‘penyelenggaraan ibadah haji dan umroh). Dalam elaborasinya, fatwa haiah kibaril ulama Saudi Arabia menegaskan ada empat alasan yang disampaikan dalam ‘kewajiban penerbitan izin haji’ di tahun 2024 ini.

Yang pertama adalah kewajiban memperoleh izin haji didasarkan pada apa yang diatur dalam syariat Islam. Tujuannya, mengatur jumlah jema’ah sedemikian rupa sehingga orang bisa melakukan ibadah dengan damai dan aman. Hal ini adalah tujuan hukum yang sah yang ditentukan oleh dalil dan aturan syariah. Yang kedua adalah kewajiban untuk mendapatkan izin haji sesuai kepentingan yang disyariatkan syariat.

Hal ini akan menjamin kualitas pelayanan yang diberikan kepada jema’ah haji. Yang ketiga, kewajiban memperoleh izin haji merupakan bagian dari ketaatatn kepada pemerintah. Siapapun yang mematuhinya akan diberi reward maknawiyah, dan siapapun yang tidak mentaatinya akan mendapatkan punishment maknawiyah dan mendapatkan ganjaran dari pemerintah. Yang keempat, haji tanpa izin tidak diperbolehkan. Sebab, kerugian yang diakibatkannya tidak terbatas pada jema’ah, tetapi meluas pada jema’ah lain. Kerugian yang dilakukan oleh pelanggar adalah dosa yang lebih besar daripada kerugian yang dilakukan sendiri oleh pelakunya.

Berdasarkan pada empat di atas, fatwa haiah kibaril ulama Saudi Arabia menegaskan, tidak boleh berangkat haji tanpa mendapat izin. Berdosa bagi yang melakukannya karena melanggar perintah pemerintah yang dikeluarkan hanya untuk mencapai kepentingan umum.

Karena itu juga pemerintah Saudi menetapkan sanksi berhaji tanpa visa dan tasreh resmi, maka denda sebesar 10.000 riyal bagi setiap warga Negara atau ekspatriat yang tertangkap tidak memiliki izin haji. Deportasi ekspatriat yang melanggar peraturan berhaji dan melarang mereka memasuki kerajaan Arab Saudi sesuai jangka waktu yang diatur undang-undang. Denda dua kali lipat (2 x 10.000 riyal) jika terjadi pelanggaran berulang. Barangsiapa mengkoordinir jema’ah yang melanggar peraturan berhaji tanpa izin, diancam pidana penjara paling lama 6 bulan dan denda paling banyak 50.000 riyal. 2

B. Regulasi Koherensi Pemerintah Indonesia

Berdasar pada ketentuan di atas, sejalan juga dengan apa yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama RI, bahwa pelaksanaan ibadah haji hanya berlaku dua visa, yakni visa haji (atau visa haji kuota Indonesia/kuota haji regular dan haji khusus) dan visa haji mujammalah (undangan pemerintah kerajaan Arab Saudi).

Haji dengan visa mujammalah ini populer disebut dengan faji furoda, yakni haji memakai visa undangan dari pemerintah Arab Saudi. Jama’ah dengan visa ini wajib berangkat melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) Sementara visa lainnya seperti visa ziarah dan ummal (pekerja) tidak bisa digunakan untuk berhaji.

Pemerintah melalui kementerian Agama RI dan pemerintah Arab Saudi melalui fatwa yang dikeluarkan (haiah kibaril ulama) siapapun jama’ah haji yang akan menggunakan cara-cara yang tidak prosedural atas ibadah mereka, maka ibadahnya tidak dianggap sah. Perjalanan ibadah haji melalui kebijakan pemerintah Arab Saudi dan dipergas kembali oleh pemerintah Indonesia, masyarakat Indonesia yang ingin melaksanakan ibadah haji agar selalu ikut peraturan yang berlaku.

Tentunya tujuan pemberlakuan tersebut adalah untuk memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan terhadapa jama’ah ibadah haji dari tanah air. tujuannya juga berlaku untuk terjaminnya kesehatan, terjaminnya keselamatan dan kenyamanan. Berdasar catatan yang didapatkan melalui kompas, bahwa ada sebanyak 22 WNI yang ditahan pemerintah Arab Saudi dan akhirnya dideportasi serta dilarang memasuki Arab Saudi selama 10 tahun.

Sanksi bagi rombongan anggota jama’ah asal Banten dijatuhkan ketika mereka hendak pergi ke kota suci Mekkah untuk beribadah haji tanpa mengantongi visa haji, dan dianggap sebagai korban kasus pelanggaran aturan transportasi haji.

Berdasarkan pada hasil ijtima’ Pengurus Besar Nahdlatul Ulama melalui musyawarah pengurus syuriah NU pada tanggal 28 Mei 2024 bahwa haji dengan visa nonhaji atau tidak prosedural itu sah. namun perlu dicatat bahwa visa nonhaji tersebut dianggap cacat dan pelakunya berdosa. Karena itu berhajilah dengan jalan benar, pemerintah Arab Saudi sudah menyatakan jika tidak memakai visa haji maka berhajinya tidak sah.

C. Pragmatisme Penyelenggaraan Ibadah Haji di Indonesia

Pragmatisme penyelenggaraan ibadah haji tentunya melalui beberapa proses, yakni pengetahuan mengenai ibadah haji, perlaksanaan haji, dan berakhir dengan berfungsinya ibadah haji, baik bagi diri sendiri maupun untuk masyarakat. Ketiga (pengetahuan, perlaksanaan, dan fungsi) merupakan pengamalan (implementasi) haji itu sendiri dalam cakupan kesatuan yang utuh.

Sahnya perlaksanaan ibadah haji sangat bergantung pada penerapan dan ketentuan peraturan formal ibadah haji. Nilai haji, atau biasa disebut dengan haji mabrur tidak tergantung kepada sahnya pelaksanaan ibadah haji semata-mata, tetapi bergantung kepada fungsi ibadah haji itu bagi pembentukan integritasa prilaku personifikasi haji dan bagi masyarakat dimana ia berada.

Rekonstruksi aspek-aspek dalam proses haji telah dikaji dan dirumuskan oleh para ahli fikih (fukaha) melalui pendekatan teologi. Pelaksanaan ibadah haji, tentunya melalui persiapan, dari keberangkatan sampai pada kepulangan ke tanah air.

Perjalanan haji mempunyai implikasi yang lebih luas terhadap masyarakat dibandingkan dengan pelaksanaan ibadah lainnya. Perjalanan haji yang dilakukan diperlukan suatu kajian dengan pendekatan empirik Pendekatan ini terhitung masih jarang digunakan dalam kajian akademik terhadap Islam Indonesia, terutama aspek ibadahnya.

Oleh karena itu, meskipun perjalanan haji dan kelompok haji telah lama berlangsung di Indonesia, belum ada kajian yang mendalam mengenai peristiwa ini (catatan historisnya). Di tahun 1980- 1999, kerajaan Arab Saudi telah melakukan beberapa upaya peraturan, antara lain mengkaji sistem keberangkatan jama’ah dilakukan melalui pengangkutan udara, rekrutmen petugas haji disesuaikan dengan kompetensi serta penyempurnaan modul manasik haji.

Di lain pihak, kerajaan Arab Saudi juga melalukan penyempurnaan terhadap sistem penyewaan penginapan, perbaikan pengakutan awam dan pengaturan pengaadaan catering yang semula dikelola dengan sistem syeikh (perorangan) dan swasta penuh, selanjutnya beralih kepada sistem muassasah yang dikontrol langsung oleh kerajaan Arab Saudi. Banyaknya aturan (regulasi) dan peraturan perundang- 3 undangan yang mengatur tata pelaksanaan ibadah haji tidak cukup untuk dapat memberikan pelayanan yang komprehensif dan professional, melainkan perlunya kesadaran yang tinggi untuk menghargai suatu peraturan atau undang-undang tersebut.

Oleh karena itu, kesadaran dari jama’ah sangat diperlukan dan kesungguhan para pembimbing dalam memberikan bimbingan amat diharapkan yang tentunya semua itu bermuara dari sebuah keikhlasan dalam menggapai rido Allah swt. Karena itulah konklusi dari mu’amalah kepada Rabb juga ditentukan dengan mu’amalah kepada fatwa haiah kibaril ulama Saudi Arabia dan aturan Undang-undang nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaran Ibadah Haji dan Umroh.

Bircunews

Bircunews.com merupakan perusahaan media. Bircunews.com hadir untuk memberikan informasi yang berimbang, informatif, edukatif, yang sesuai dengan pedoman undang-undang pers no 40 tahun 1999.

Exit mobile version